Dari Janggolan Sampai Jukung, Perahu Tradisional di Cirebon, Jawa Barat

Perahu-perahu yang ada di Cirebon Jawa Barat terbagi menjadi 4 yakni janggolan, sopean tembon dan jukung.

Di daerah Cirebon tepatnya seperti di daerah Kalipeung, Mertasinga masih banyak terdapat perahu tradisional. Nah, perahu tradisional yang ada di Cirebon sendiri sebenernya dibagi menjadi 4 yakni janggolan, sopean, tembon dan jukung.

Perahu-Perahu Tradisional di Cirebon yang Hitz

Sebenarnya perahu Janggolan dan Sopean memiliki bentuk yang hampir sama di mana pada bagian buritan dan juga haluannya tidak memiliki tonjolan (kepala). Sedangkan untuk perahu jenis tembon sendiri memiliki kepala. Sedangkan untuk perahu jukung, jenis ini adalah jenis perahu kayu tanpa cadik.

Sebenarnya fungsi dari keempat perahu ini sama, untuk keperluan nelayan dan juga yang lain-lainnya. Apabila nelayan yang menggunakannya, maka akan digunakan untuk menangkap berbagai macam binatang laut seperti ikan, penyu, rajungan (kepiting) dan yang lainnya. Dan penangkapan ikan dengan perahu seperti ini dilakukan dengan cada tradisional juga. Cara tradisional yang dimaksudkan di sini adalah dengan cara upacara-upacafa laut yang sering kali disebut dengan ‘pesta nadran’ atau yang disebut juga dengan nyadran di dalam bahasa Jawa.

Pesta nadran ini dilakukan pada saat menjelang musim penangkapan ikan. Tujuan dari upacara nadran ini sendiri adalah untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar melancarkan proses penangkapan ikan dan agar para nelayan diberikan keselamatan. Tidak hanya itu, menangkap ikan dengan cara tradisional seperti ini dengan upacara nadra juga memohon agar kekayaan dan hasil laut melimpah. Dan orang-orang Cirebon sering sekali melakukan upacara ini.

Pada saat upacara berlangsung, perahu-perahu tersebut dihiasi dengan segala rupa hiasan sehingga akan tampak sangat mewah. Banyak kelompok yang ikut dalam upacara nadran ini sehingga perahu-perahu mereka akan dinilai dari berbagai aspek.

Pada saat upacara berlangsung, ada satu acara yakni penyembelihan kerbau besar yang kepalanta digunakan untuk sesaji yang nanti kemudian akan dibuang ke laut. Sekain kepala kerbau, ada juga tumpeng besar dan juga tumpeng kecil, bubur merah putih, ayam yang masih hidup, dan kembang tujuh warna. Dan sesaji ini dibawa ke tengah laut dan akan dibuang di sana, di laut lepas.

Dengan diadakannya upacara ini maka semua nelayan berharap kalau Yang Maha Kuasa akan memberikan perlindungan. Saat upacara sudah selesai, perahu-perahu itu akan dicat dengan berbagai macam warna seperti hujau, merah, putih, kuning, biru, oren dan yang lainnya. Di daerah seperti Kalipasung dan juga Martiasing (Cirebon) ada ribuan perahu yang biasanya ditempatkan di pinggir sungau baik sungai besae ataupun sungai kecil.

Perahu-Perahu yang junlahnya ribuan yang berderet di tepi sungai tadi dari laut menuju ke pedalaman. Dan jika kalian melihat, pasti kalian akan sangat suka karena dereta perahu itu terlihat amat sangat menarik. Desa Martiasing yang ada di Cirebon banyak memiliki perahu yang digunakan untuk upacara nadran.

Jenis perahu yang ada baik jukung sampai perahu tembon ini mempunyai bentuk yang berbeda-beda dengan cat warna yang berbeda-beda juga. Perahu jenis tembon biasanya bentuknya lurus. Dan juga bagian luarnya di bagian haluan dan buritan didesain lurus ke atas. Sedangkan pada bagian dalamnya cekung.

Beda dengan perahu janggolan yang bagian atasnya lengkung. Perahu tembon (mayamg dan sopen) dan janggolan biasanya memiliki layar tunggal yang lebar dan memiliki satu buah tiang layar yang kuat yang mana didirikan di bagian depannya. Ada beberapa yang dicat Dan diberikan pola namun ada juga yang tidak berpola.
Deskripsi singkat: Nama Pahrahyangan sendiri sering sekali diubah menjadi Priangan. Oleh karena itu lah sering sekali maknanya menjadi berubah.

Mengenal Bahasa Sunda: Asal Muasal Nama Priangan (Pahrayangan)

Kalian pasti sudah pernah mendengar kata Pahrayangan. Atau malahan lebih sering mendengar kata Priangan?n sebenarnya kata Pahrayangan ini lebih dikenal di kemudian hari dengan kata Priangan. Pada prinsipnya, kata itu menunjukkan tempat. Jika menelusuri kata itu dengan membuka kamus bahasa Sang Saka Kerta yang mana ditulis dalam aksara Palawa, maka kata Pahrayangan ini mengandung arti berikut ini: “Pa” berarti tempat, “Ra” berarti sinar dan “Hyang” memiliki arti pemimpin yang agung. Nah, maka dari itu, jika diartikan secara bersamaan, Pahrayangan itu dari kata Pa-Ra-Hyang yang artinya tempat-sinar-pemimpin yang agung atau tempat pemimpin agung yang bersinar.

Kata “para” dalam kata ini bukan berarti jamak, tidak seperti kata “para penonton” atau “para pemimpin”. Namun kata “para” di sini menunjukkan tempat yang tinggi ataupun langit. Kalian bisa lihat dalam kata para-para atau langit-langit yang mana letaknya di bawah wuwungan atau yang berarti suwung ataupun kosong. Nah, yang sebenarnya membuat kata “Parahyang” menjadi hilang maknannya adalah saat kata itu dituliskan dalam susunan dan juga bentuk kata “Para-hiang-an” dan lebih lagi disingkat menjadi “Priangan”.

Pada dasarnya, Pa-Ra-Hyang tidak hanya dimaksudkan untuk kota Bandung secara keseluruhan, namun hanya khusus untuk wilayah tempat lahirnya Salaka Domas dan juga Salaka Negara, yang tepatnya di sekitar Gunung Agung (Gunung Tangkuban Pa-Ra-Hu). Oleh karena itu kita mengenal ada daerah yang bernama “Lamba Hyang” atau “Lembah Hyang” atau “Lembang”. Tempat ini lah yang menjadi cikal bakal lahirnya konsep berkebangsaan dan juga ketatanegaraan di seluruh dunia yang mana diawali oleh Sang Hyang Watugunung Ratu Agung Manik Maya dengan sebuah misi “Mula Sarwa Stiwa Dani Kaya”. Ini letaknya di sekitaran Gunung Batu daerah Buka Nagara/Mula Nagara, Lembang.

Kemudian dilanjutkan oleh Maharaja Resi Prabhu Sindhu La-Hyang yang membangun padepokan Jambudwipa dan kelak konsep ini lah yang dilanjutkan oleh Da-Hyang Su-Umbi (Galuh Kandiawati) dan juga Mulawarman ataupun si Tumang (Resi Taruma Hyang). Mereka semua mendirikan Taruma Nagara Desa.

Pernikahan antara Da-Hyang Su-Umbi dengan Taruma Hyang melahirkan Panca Putra Dewa atau yang juga dikenal dengan Pandawa Putra yang membawa misi Ajaran Dwipa (Dwipayana). Maka dari sini lah terbentuk: Jawa-dwipa, Swarna-dwipa, Simhala-dwipa, Waruna-dwipa, dan sebagainya sampai ke India. Dan Pandawa Putra dikenal juga dengan sebutan Pancakusika yang mana mereka terdiri dari:

  1. Pangeran Nandiswara (Sang Guru/Kuru Hyang atau Sangkuryang atau Bimasakti atau Ganesha
  2. Pangeran Gargha
  3. Pangeran Purusha
  4. Pangeran Maestri
  5. Pangeran Puntajala Hyang (Dapunta Hyang/ Gn. Puntang)

Kata Gunung bagi masyarakat Sunda menjadi sangat penting. Gunung= Guru nu Agung. Itu karena kata gunung mempunyai makna khusus. “Hu” dalam kata Parahu maknanya adalah Tuhan seperti yang digunakan di bahasa Arab (Yaa Hu) atau seperti kata “Ra” yang mana digunakan masyarakat Mesir.

Sebenarnya musnahnya pemahaman Bangsa Sunda terhadap bahasa Salaka Domas atau Salaka Negara itu sendiri diduga bersamaan dengan diserahkannya istilah Sang Saka Kerta pada Bangsa India. Ini ada di versi sejarah barat. Orang Eropa sendiri menyebutnya dengan istilah Sanscrit sedang bangsa Melayu menyebutnya dnegan Sanskerta, bukan kah patung Sidharta Gautama yang ada di Candi Borobudur itu belum tentu orang Indonesia? Kita juga bisa melihat bagaimana ilmuwan mengubah nama Kong Hu Tzu menjadi Conficius. Dan demikian juga dengan kata “Hu” dan “Ra” atau pun Sang Saka Kerta.