Kampung Spiritual Islam-Hindu

Kampung Naga di Priangan Timur, Tasikmalaya, bukanlah obyek wisata. Masyarakat setempat yang masih memegang kuat adat-istiadat leluhur tidak mau jadi obyek tontonan.

Namun, ini desa yang bisa dikunjungi jika Anda ingin menggali akar budaya masyarakat Priangan Timur atau sekadar menggali aspek spiritual masyarakat tradisional.

Seperti permukiman Badui di Banten, Kampung Naga sudah lama menjadi kajian antropologi mendalam mengenai kehidupan masyarakat pedesaan Sunda pada masa peralihan dari pengaruh Hindu menuju pengaruh Islam.

Kampung Naga merupakan sebuah kampung adat yang masih lestari. Masyarakatnya masih memegang adat tradisi nenek moyang mereka. Mereka menolak intervensi dari pihak luar jika hal itu mencampuri dan merusak kelestarian kampung tersebut.

Asal mula kampung ini sendiri tidak memiliki titik terang mengingat banyak catatan sejarah terbakar atau hilang bersama maraknya Pemberontakan DI/TII di kawasan ini. Warga kampung Naga sendiri menyebut sejarah kampungnya dengan istilah “Pareum Obor”. Pareum jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu mati atau gelap. Dan obor itu sendiri berarti penerangan, cahaya atau lampu. Jika diterjemahkan secara singkat: “matinya penerangan”. Ini berkaitan dengan hilangnya sejarah masa silam kampung mereka.

Kampung ini secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur. Sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat tempat makam leluhurDi sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah utara dan timur dibatasi oleh Sungai Ci Wulan (Kali Wulan) yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray.

Luas tanah Kampung Naga yang ada seluas satu hektare setengah, sebagian besar digunakan untuk perumahan, pekarangan, kolam, dan selebihnya digunakan untuk pertanian sawah yang dipanen satu tahun dua kali.

Penduduk Kampung Naga semuanya beragama Islam, namun dengan nuansa setempat. Mereka mengaji dan menunaikan rukun Islam. Dalam berhaji, mereka beranggapan tidak perlu jauh-jauh pergi ke Mekkah, namun cukup dengan menjalankan Upacara Hajat Sasih pada Hari Raya Haji yaitu setiap tanggal 10 Rayagung (Dzulhijjah).

Dengan menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang, warga Kampung Naga menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun dianggap sesuatu yang tabu.

Tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas kehidupannya. Pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah, pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya.

Salah satu kekhasan kampung ini terletak pada keseragaman sekitar 100 rumah di dalamnya, arah rumah menghadap, rancangan serta bahan bangunannya. Tak ada motor atau mobil di situ. Jalan setapak antar rumah dibuat dari batu yang tertata. Tak ada listrik.

Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu. Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap kesebelah utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah Barat-Timur.

Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok. Rumah tidak boleh dilengkapi dengan perabotan, misalnya kursi, meja, dan tempat tidur.

Di bidang kesenian masyarakat Kampung Naga mempunyai pantangan atau tabu mengadakan pertunjukan jenis kesenian dari luar Kampung Naga seperti wayang golek, dangdut, ata pencak silat. Mereka punya seni sendiri: terbangan, angklung, beluk, dan rengkong.

Budaya Sunda kuno masih dilakukan di sini. Salah satunya adalah ziarah di makam tetua kampung, Sembah Dalem Singaparna, yang terletak di perbukitan.