Pesona dan Tragedi Kebun Teh Priangan

Alamnya yang sejuk dan kondisi tanah yang subur akibat aktivitas vulkanik membuat Priangan menjadi tempat ideal kawasan perkebunan. Hamparan hijau perkebunan teh nan luas mudah kita temukan di sekitar Bandung, menyajikan garis-garis geometris mengikuti lekuk perbukitan. Kebun teh adalah tempat wisata populer dan menyenangkan.

Beberapa perkebunan yang tersebar di sekeliling Cekungan Bandung antara lain perkebunan teh dan kina di Pasirmalang Pangalengan, perkebunan teh di Malabar, perkebunan teh dan kina di Cinyiruan, perkebunan kina di Jayagiri Lembang, perkebunan teh di Pasir Junghuhn, perkebunan teh Purbasari Pangalengan, perkebunan teh di Pasir Nangka. Dan tentu saja pabrik kina di Kota Bandung.

Tapi, sejarah perkebunan Priangan, seperti perkebunan di Indonesia masa lalu sebenarnya mengandung cerita sedih. Usaha perkebunan Priangan memiliki sejarah panjang, dan tidak semua menyenangkan. Perkebunan-perkebunan kopi dan teh pada masa awal VOC dan Kolonialisme Belanda memakai sistem tanam paksa: Cultuurstelsel dan Preangerstelsel. Belanda memaksa rakyat kebanyakan menanam komoditi yang laku dipasarkan di Eropa, dan mematok harga rendah untuk menjamin keuntungan besar.

Cerita tragis sistem tanam paksa didokumentasikan dengan baik antara lain melalui novel “Max Havelaar” yang ditulis oleh Multatuli. Judul lengkapnya: “Max Havelaar atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda”.

Harga rendah, keuntungan besar bagi Belanda. Ekonomi Bandoeng Tempo Doeloe ditopang utamanya memang dari sektor perkebunan. Sektor ini pula yang belakangan membuat Bandung menjadi pusat pemerintahan, pusat ekonomi, dan pusat pendidikan.

Komoditi yang cocok untuk dibudidayakan di wilayah Priangan adalah kopi, kina, dan teh. Dari hasil tanam paksa selama 40 tahun (1831–1870), Pemerintah Kolonial Belanda menarik keuntungan sebanyak ratusan juta gulden.

Sistem yang menghisap ini dihapuskan pada 1870 menyusul terbitnya novel “Max Havelaar”. Namun, praktek tanam paksa masih berlanjut meski harga komoditi dinaikkan.

Sampai awal 1900-an, di seluruh Hindia Belanda terdapat 100 perkebunan Teh; 81 di antaranya terletak di Jawa Barat. Ada 82 perkebunan kina, dan 60 di antaranya di Jawa Barat. Sampai menjelang Perang Dunia II, perkebunan kina di Priangan memasok 90% kina dunia.

Demikian besarnya sumbangan sektor perkebunan Priangan sehingga pemerintah Belanda bisa membangun banyak jalan kereta api, termasuk rel yang menghubungkan Bandung dan Jakarta. Kereta api itu pada gilirannya makin memperkuat usaha perkebunan dan memperkaya Bandung. Hasil-hasil perkebunan dari daerah pedalaman mudah diangkut ke pusat kota untuk dipasarkan.

Beberapa perusahan kereta api swasta ikut membangun jalur kereta api di Jawa Barat, salah satunya adalah perusahaan Staatspoorwegen Westerlijnen. Kota-kota Jawa Barat, termasuk kota terkecil, terhubung dengan kereta api sejak masa itu. Jalur-jalur itu memudahkan dalam transportasi komoditi perkebunan Priangan hinga ke pemasaran internasional lewat Batavia.

Perkembangan perkebunan memperkaya pemilik kebun Priangan atau Preangerplanters. Para Preangerplanters menghabiskan sebagian besar uangnya di Bandung, sehingga meningkatkan kegiatan sosial ekonomi Bandung pada saat itu.

Sebagian Preangerplanters berjasa dalam sejarah pembangunan Kota Bandung. Salah satunya adalah Karel Albert Rudolf Bosscha. Dia membangun sarana pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan sosial.

Bosscha mendirikan Observatorium Bosscha di Lembang, Perusahaan Telefon Preanger di Bandung, mendirikan pabrik karet Hindia Belanda di Bandung, membentuk perusahaan listrik Bandung, mendirikan Lembaga Kanker Hindia Belanda, Rumah Sakit Kota, dan Sekolah Tinggi Teknik (ITB sekarang).

Ketika meninggal, Bosscha dimakamkan di tengah kebun teh Malabar. Makam itu menjadi salah satu tempat yang populer dikunjungi wisatawan kini.

Malabar hanya salah satu kawasan kebun teh. Ada setidaknya enam kebun teh yang layak dikunjungi di sekitar Bandung.

Rancabali: Kebun Teh Rancabali adalah saah satu perkebunan teh paling populer. Dia merupakan bagian dari kawasan wisata Ciwidey yang terkenal, mencakup Kawah Putih, Pemandian Air Panas Cimanggu atau Ciwalini, Bumi Perkemahan Ranca Upas atau Situ Patenggang.

Malabar: Ada di kaki Gunung Malabar di Pangalengan, perkebunan teh di bandung selatan ini memiliki luas 2.000 hektar lebih. Suhunya sejuk plus pesona pemandangan alam yang luar biasa hijau dan indah.

Sukawana:
Terletak di kawasan wisata Lembang, Bandung Barat. Lokasi kebun teh ini tak lebih dari 20 km dari pusat kota Bandung. Ada di lereng Gunung Burangrang. Kita bisa melakukan beberapa kegiatan: tea walk, hiking, camping, dan off road.

Kertamanah: ada di sekitar kawasan wisata Pangalengan. Lokasinya tidak jauh dari Pasar Pengalengan, dan kita bisa mampir pembangkit listrik panas bumi (geotehrmal) Pangalengan.

Gambung: Di samping kebun teh Rancabali, kebun ini menawarkan wisata edukasi kebun teh “Ngabekong”: proses penyimpanan tanaman-tanaman teh yang masih muda sebelum ditempatkan atau disemaikan di lahan perkebunan. Pengunjung bisa belajar bagaimana cara memilih bibit, menanam, memelihara, cara memetik, penimbangan, pelayuan, pengeringan hingga penggilingan. Kita juga bisa mengunjungi Kebun Tanaman Obat terbesar di Indonesia.

Patuha: Lokasinya terletak di lereng Gunung Patuha yang pernah meletus hebat pada Abad ke-10 dan 12. Patuha adalah kepanjangan dari kata “pa” dan “tuha” (Pak Tua). Teh di sini memiliki aroma sangat unik: harumnya sangat khas dan wangi.

Selain wisata kebun teh, pengunjung Priangan juga bisa menikmati Wisata Kebun Kina. Salah satunya ada di Bukit Tunggul dekat Lembang, yang juga ada bekas pabrik kina zaman dulu. Kina yang pahit sebagai obat malaria juga memiliki jejak menarik: mengawali industri farmasi di Hindia Belanda.

Sejarah panjang farmasi di Bandung dimulai dengan berdirinya perusahaan NV Chemicalien Handle Rathkamp & Co., perusahaan farmasi pertama di Hindia Timur, didirikan pada tahun 1917, dan inilah cikal bakal perusahaan Kimia Farma.

Chemicalien Handle memperoleh pasokan bahan kulit kina dari kebun yang ditanam oleh Frans Wilhem Junghuhn, seorang dokter dan peneliti berkebangsaan Jerman yang bertugas di Hindia Belanda. Kina merupakan komiditi primadona, namun meredup perannya setelah perang Dunia Kedua.